Daerah  

Lonjakan UKT Bakal Targetkan Mahasiswa Baru, Pengamat Unmul : Generasi Emas Hanya Angan-Angan

Teks foto : Akademisi sekaligus Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Purwadi Purwoharsojo. (Dok)

MEDIAKATA.COM, SAMARINDA – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) kian menjadi sorotan. Tak hanya memberatkan Mahasiswa, kenaikan tersebut juga dinilai tak pro rakyat. Terlebih, Generasi Emas hanya sebuah angan-angan Negara, jika Perguruan Tinggi dinilai sebagai lembaga pendidikan tersier.

Hal ini berdasarkan ungkapan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, tentang kebijakan pengelolaan anggaran pendidikan bagi PTN (Badan Hukum, BLU, dan Satker), dan pembahasan implementasi KIP Kuliah dan Uang Kuliah Tunggal (UKT), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (21/5/2024).

Ia mengatakan, bahwa kenaikan UKT harus selalu mengedepankan asas keadilan dan inklusivitas. Apalagi, kenaikan UKT hanya berlaku untuk calon mahasiswa baru 2024. Sehingga, terkesan mengkomersialisasikan pendidikan.

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Purwadi Purwoharsojo, menyebutkan, kenaikan UKT akan memiliki dampak besar dalam pendidikan di Indonesia. Salah satunya, meningkatnya beban finansial bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah.

Tak heran, jika dalam beberapa kasus, besaran UKT yang ditetapkan, tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga. Kemudian, telah mengakibatkan banyak mahasiswa terpaksa bekerja paruh waktu, pinjaman online, bahkan meninggalkan bangku kuliah.

“Kan aneh Negara ini. Masa dana APBN tembus dengan nominal yang begitu besar, tapi biaya kuliah tetap mahal. Seolah kampus harus mengejar UKT, sebagai setoran tiap tahun,” ungkapnya Purwadi, saat dihubungi via telpon, Kamis (23/5/2024).

Ia pun mencontohkan, bahwa terdapat beberapa PTN di pulau Jawa, telah bekerja sama dengan Pinjol Singapore untuk memberikan layanan pinjaman kepada mahasiswa.

“Belum Gen Z yang nganggur, sekarang ada Gen U atau generasi diwariskan utang. Gak boleh gitu. Apalagi banyak rektor yang pake Pinjol yang bekerja sama dengan Pinjol Singapore biar UKT Mahasiswa gak macet,” sebutnya.

Baca Juga :  DPRD Bersama PUPR PPU Lakukan Sidak Pembangunan Rujab Bupati

“Salah fatal, ngapain ada kampus kalau gitu. Masa generasi emas kehidupan bangsa ini diserahkan sama pinjol. Padahal tanggung jawab negara,” tambahnya.

Menurut Purwadi, permasalahan yang berkaitan dengan UKT, sangat erat kaitannya dengan kebijakan Kemendikbudristek. Pasalnya, Pemerintah mencoba mengubah PTN BLU menjadi PTN BH.

“Merubah status menjadi tiga model itu (PTN BH, PTN BLU, PTN Satker) adalah bentuk upaya kapitalisme pendidikan. Karena kampus harus punya duit sendiri dan negara mau itu. Kampus harus membiayai sendiri. Kalau rektornya tidak cerdas, akhirnya UKT yang dihajar,” jelasnya.

“Kampus-kampus di Jawa kan punya hotel, minimarket, SPBU, punya travel, punya macam-macam. Mereka punya bisnis gitu loh, yang itu bisa mensejahterakan dosen-dosen dan tehnik itu. Apalagi jaringan alumninya kuat, kalau Rektor enggak punya entrepreneur begitu, UKT nya terus hajar,” lanjutnya.

Ia mengungkapkan, perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan hari ini, bukan lagi bertujuan mencerdaskan bangsa. Namun, mesti berdasarkan perhitungan untung rugi.

“Jadi PT itu pertama singkatannya perguruan tinggi yang kedua nanti perguruan tersier. Dan yang terakhir perseroan terbatas karena jadi bisnis. Bayangin bisnis para kapitalis di situ orang miskin tidak boleh kuliah,” paparnya.

Selain itu, lanjutnya, problematika selanjutnya, yakni terdapat persaingan, antara PTN dan PTS. Sebab, kenaikan UKT memungkinkan biaya kuliah di PTN akan setara dengan PTS dapat menciptakan pertarungan tidak sehat.

“Kedua, UKT di PTN itu akan menjadi predatornya PTS. Kalau PTS yang ada itu tidak berusaha untuk bersaing itu menjadi predatory dan menghantam PTS. Jika perbandingannya jauh pasti tidak bisa hidup yang swasta, karena persaingan. Efek dominonya ngeri. Bisa mati itu PTS,” urainya.

Selain itu, dampak kenaikan UKT juga berpotensi menghambat mobilitas sosial. UKT yang mestinya menjadi alat pendorong agar akses pendidikan berlaku di semua lapisan masyarakat. Namun, kebijakan tersebut hanya akan memperlebar kesenjangan antara mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang berbeda.

Baca Juga :  Keberpihakan Edi-Rendi Majukan Petani Kukar Tuai Penghargaan Nasional dari KemenPAN RB

“Kasian banget deh generasi 2045 itu. Apalagi sekarang sebelum daftar ini tidak ada informasi, ketika sudah daftar, sudah keterima baru dikasih tahu sekian-sekian. Kalau misalnya yang daftar 1000 apa gak tiba-tiba 500 mundur,” imbuhnya.

Purwadi pun berharap, agar ungkapan yang dilontarkan dapat dikaji kembali. Ia menilai, jika kebijakan itu berlaku, Pemerintah telah melepas tanggung jawabnya untuk mencerdaskan, dan membunuh generasi bangsa.

“Negara ini kaya raya, masih banyak duitnya. Tapi ya disikat sama orang-orang tidak bertanggung jawab itu. Ini bola sudah didepan gawang siapa yang mau ambil. Ini harus dicarikan jalannya. Kalau tidak, generasi emas gak bakalan tercapai di 2045,” pungkasnya.

Penulis: Syahrul Mubarok Editor: Topan Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *